Kamis, 14 Maret 2013

Cara menghitung TRIR kecelakaan kerja di perusahaan

Berikut adalah jawaban yang saya siapkan buat teman saya tersebut.
Rumus TRIR = jumlah insiden X konstanta pengali
kumulatif jam kerja
Untuk Konstata pengali tersebut ada dua yaitu 200.000 dan 1.000.000. Kenapa konstanta pengalinya 1 juta (Indonesia (Migas/Depnaker, OGP,
ILO, ANSI) ?. Kenapa konstata pengalinya 200.000?.
Angka 1 juta dipakai untuk menggambarkan jumlah tenaga kerja sebanyak 500 orang yang bekerja selama satu tahun ( 2000 jam kerja), sehingga didapatkan  2000 dikali 500 menjadi 1.000.000. Sehingga dapat dikatakan angka denominator 1.000.000 sama artinya angka kecelakaan per 500 (lima ratus) pekerja.
Begitu juga untuk denominator 200.000, menggambarkan untuk 100 pekerja yang bekerja selama 2000 jam kerja. Jadi dengan kata lain adalah angka kecelakaan per 100 pekerja.
TRIR menurut OSHA (Occupational Safety and Health Adminstration) dan OGP International (Oil and Gas Producer) .
Mari kita lihat satu persatu. Apabila kita lihat definisinya, OSHA menggunakan Total Recordable Incidence (injury and illnesses) Rate sedangkan OGP menggunakan istilah Injury Rate untuk mendefinisikan TRIR. Apabila kita lihat rumusnya, OSHA menggunakan konstanta perkalian pada denominatornya yaitu 200.ooo sedengkan untuk OGP 1.000.000.
Contoh perhitungan statistik kecelakaan kerja menggunakan rumus OSHA:
OSHA Recordable Rate (TRIR) = # of OSHA Recordable Cases x 200,000

# of hours worked
OSHA DAWC Rate = # of OSHA Lost Time Cases x 200,000
# of hours worked
OSHA DART Rate
Days Away From Work Cases (DAWC) and Restricted Cases includes any Days Away from Work Cases plus Restricted Cases. Restricted cases are defined as any occupational injury or illness that results in a limitation in their job (i.e., no lifting, climbing, etc.) or transferred to another job (restricted days).
OSHA DART Rate = (# of OSHA DAWC + # of OSHA Restricted Cases) x 200,000
# of hours worked
OSHA Day Count Rate
Days Away From Work (DAW) are the number of days away from work and the number of days of restricted work resulting from the work-related injury/illness. Restricted days are the number of days of restricted work or transferred to a different job resulting from the work-related injury/illness.
OSHA Day Count Rate = # of OSHA Lost Time Days x 200,000
# of hours worked
Source: Recording and Reporting OSHA
Contoh:
Sebuah perusahaan mempunyai 6 OSHA recordable cases pada suatu tahun. Tiga kasus adalah OSHA recordable dan dua kasus Lost Time yang mengakibatkan 14 hari kerja hilang dan 25 hari restricted. Juga terdapat satu kasus restricted dengan 10 hari restricted duty (tidak ada kehilangan hari kerja). Pekerja bekerja selama 622,300 jam pada tahun tersebut.
Rate yang diperoleh dari kasus di atas adalah:
OSHA Recordable Rate = (6 x 200,000) = 1.93
622,300
OSHA DAWC Rate = (2 x 200,000) = 0.64
622,300
OSHA DART Rate = (3 x 200,000) =  0.96
622,300
Bagaimana dengan standard lainnya?
Lain lagi dengan perusahaan dimana saya bekerja karena bisnis utamanya adalah pemboran dan menjadi anggota IADC (International Association of Drilling Contractor) maka diminta untuk menyampaikan laporan dengan versi mereka. Untuk definisi  Incidence Rate perkalian rumus dengan denominator 200.000 dan untuk definisi Frequency Rate menggunakan perkalian dengan denominator 1.000.000.
Kalau mau lebih jelas lagi dapat anda download panduan dari IADC berikut IADC ISP Program Guideline.
Dengan banyaknya standard yang ada tentunya kita harus menggunakannya secara bijak pada perusahaan dimana kita bekerja yaitu dengan menggunakan pilihan sebagai berikut:

Senin, 14 Januari 2013

Tips pangkas nama website

Tips biar bisa memperpendek nama website yang terlalu panjang, apalagi dbutuhkan di twitter yang inputnya sedikit
gampang saja kok,
- tinyur.com
- is.id
- bit.ly
- de.tk
- goo.gl
caranya;
copy pastekan alamat web yang mau kita eksekusi itu ke dalam kolom yang telah disediakan lalu klik tombol dibawahnya,
copy link yang telah dikeluarkan, pastekan di blog anda,
siiip dah

Kamis, 06 Desember 2012

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
GOOD ENVIRONMENT GOVERNANCE
  • Lembaga yudisial (pengadilan, kejaksaan dan polisi)
  • Birokrasi yang profesional dan bersih
  • DPR yang kredibel dan aspiratif
  • Masyarakat madani yang tangguh 
KEBIJAKAN LINGKUNGAN
  • Kebijakan bensin bebas timbal
  • Kebijakan desentralisasi pengelolaan LH
  • Kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan
PERATURAN PERUNDANGAN
  • Baku mutu emisi
  • Baku mutu limbah cair
  • Golongan peruntukan air sungai
  • Pengelolaan limbah B3
KEPEDULIANKONSUMEN
  • Kesadaran untuk membeli barang yang dibuat dengan etika lingkungan yang tinggi
  • Boikot konsumen terhadap produk2 tertentu yang tidak rmah lingkungan 
MARKET BASED INSTRUMENT
  • Market Creation / tredeable emmision/ effluent permits
  • Fiscal, Land reclamation bonds
TEHNOLOGY
  • Teknologi produksi bersih
  • Verifikasi teknologi ramah lingkungan


Sabtu, 17 November 2012

SML ISO 17025

ISO / IEC 17025 Persyaratan umum untuk kompetensi laboratorium pengujian dan kalibrasi adalah standar ISO utama yang digunakan oleh laboratorium pengujian dan kalibrasi. Awalnya dikenal sebagai ISO / IEC Guide 25, ISO / IEC 17025 awalnya dikeluarkan oleh Organisasi Internasional untuk Standardisasi tahun 1999. Ada banyak kesamaan dengan ISO 9000 standar, tapi ISO / IEC 17025 menambahkan dalam konsep kompetensi untuk persamaan. Dan itu berlaku secara langsung kepada organisasi-organisasi yang menghasilkan hasil pengujian dan kalibrasi. Sejak rilis awal, rilis kedua dibuat pada tahun 2005 setelah disepakati bahwa hal itu diperlukan untuk memiliki kata-kata sistem mutu yang lebih erat selaras dengan versi 2000 dari ISO 9001.Standar ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 dan pada tanggal 12 Mei 2005 pekerjaan alignment ISO / CASCO komite yang bertanggung jawab untuk itu diselesaikan dengan penerbitan standar terakhir. Yang paling perubahan signifikan diperkenalkan lebih menekankan pada tanggung jawab manajemen senior, dan persyaratan eksplisit untuk perbaikan berkesinambungan dari sistem manajemen itu sendiri, dan khususnya, komunikasi dengan pelanggan. [1]Isi ISO / IEC 17025 - ISO / IEC 17025 standar itu sendiri terdiri dari lima elemen yang Lingkup, Referensi Normatif, Istilah dan Definisi, Persyaratan Manajemen dan Persyaratan Teknis. Dua bagian utama dalam ISO / IEC 17025 adalah Manajemen Persyaratan dan Persyaratan Teknis. Persyaratan manajemen terutama terkait dengan operasi dan keefektifan sistem manajemen mutu dalam laboratorium. Persyaratan teknis meliputi faktor-faktor yang menentukan kebenaran dan keandalan pengujian dan kalibrasi yang dilakukan di laboratorium.Laboratorium menggunakan ISO / IEC 17025 untuk menerapkan sistem mutu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk secara konsisten menghasilkan hasil yang valid [2]. Hal ini juga merupakan dasar untuk akreditasi dari badan akreditasi. Karena standar adalah tentang kompetensi, akreditasi hanya pengakuan formal dari demonstrasi kompetensi yang. Sebuah prasyarat untuk laboratorium untuk menjadi terakreditasi adalah memiliki sistem manajemen mutu yang terdokumentasi. Isi biasa dari manual mutu mengikuti garis besar dari standar ISO / IEC 17025.

Faktor teknis yang perlu diperhatikan antara lain :
  • Sumber daya manusia yang mempunyai kualifikasi dan pengalaman
  • Kalibrasi dan perawatan peralatan laboratorium yang tepat
  • Sistem jaminan mutu yang sesuai
  • Teknik pengambilan contoh uji dan metode pengujian yang telah divalidasi
  • Mampu telusur pengukuran dan system kalibrasi ke standard nasional / internasional
  • Sistem dokumentasi dan pelaporan data hasil pengujian
  • Sarana dan lingkungan kerja pengujian
Keuntungan dari penerapan sistem manajemen mutu ISO17025:2005 adalah :
  • Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan pada laboratorium kalibrasi dan laboratorium pengujian melalui penerapan persyaratan yang berlaku
  • Memudahkan penghapusan hambatan non-pajak perdagangan melalui penerimaan hasil kalibrasi dan hasil uji antar negara
  • Memudahkan kerjasama antar laboratorium dan antar instansi dalam tukar menukar informasi, pengalaman dan harmonisasi standard dan prosedurnya

ISO 17025 Standard Mutu Laboratorium

Sejarah dari ISO / IEC 17025 Persyaratan umum untuk kompetensi laboratorium pengujian dan kalibrasi adalah standar ISO utama yang digunakan oleh laboratorium pengujian dan kalibrasi. Awalnya dikenal sebagai ISO / IEC Guide 25, ISO / IEC 17025 awalnya dikeluarkan oleh Organisasi Internasional untuk Standardisasi tahun 1999. Ada banyak kesamaan dengan ISO 9000 standar, tapi ISO / IEC 17025 menambahkan dalam konsep kompetensi untuk persamaan. Dan itu berlaku secara langsung kepada organisasi-organisasi yang menghasilkan hasil pengujian dan kalibrasi. Sejak rilis awal, rilis kedua dibuat pada tahun 2005 setelah disepakati bahwa hal itu diperlukan untuk memiliki kata-kata sistem mutu yang lebih erat selaras dengan versi 2000 dari ISO 9001.
Standar ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1999 dan pada tanggal 12 Mei 2005 pekerjaan alignment ISO / CASCO komite yang bertanggung jawab untuk itu diselesaikan dengan penerbitan standar terakhir. Yang paling perubahan signifikan diperkenalkan lebih menekankan pada tanggung jawab manajemen senior, dan persyaratan eksplisit untuk perbaikan berkesinambungan dari sistem manajemen itu sendiri, dan khususnya, komunikasi dengan pelanggan. [1]
Isi ISO / IEC 17025 - ISO / IEC 17025 standar itu sendiri terdiri dari lima elemen yang Lingkup, Referensi Normatif, Istilah dan Definisi, Persyaratan Manajemen dan Persyaratan Teknis. Dua bagian utama dalam ISO / IEC 17025 adalah Manajemen Persyaratan dan Persyaratan Teknis. Persyaratan manajemen terutama terkait dengan operasi dan keefektifan sistem manajemen mutu dalam laboratorium. Persyaratan teknis meliputi faktor-faktor yang menentukan kebenaran dan keandalan pengujian dan kalibrasi yang dilakukan di laboratorium.
Laboratorium menggunakan ISO / IEC 17025 untuk menerapkan sistem mutu yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk secara konsisten menghasilkan hasil yang valid [2]. Hal ini juga merupakan dasar untuk akreditasi dari badan akreditasi. Karena standar adalah tentang kompetensi, akreditasi hanya pengakuan formal dari demonstrasi kompetensi yang. Sebuah prasyarat untuk laboratorium untuk menjadi terakreditasi adalah memiliki sistem manajemen mutu yang terdokumentasi. Isi biasa dari manual mutu mengikuti garis besar dari standar ISO / IEC 17025.

Jumat, 09 November 2012

KONSEP K3

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN DEWAN K3 NASIONAL 2007-2010 DAN REVITALISASI PENGAWASAN K3

Ref:Ismail. A (2008)
latar Belakang
Jumlah pekerja seluruh Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik per Februari 2007 adalah 97,583,141 pekerja baik industri formal maupun informal. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur skala besar dan sedang pada tahun 2005 berjumlah 20,729 perusahaan yang memperkerjakan sekitar 12,094,067 pekerja. Meskipun jumlah pekerja di industri manufaktur hanya 12.4% dari total seluruh pekerja di Indonesia,namun para pekerja di industri manufaktur ini sangat tinggi tingkat resiko kesehatannya karena tingkat pajanan bahaya selama bekerja (BPS,2007).
Pada tahun 2002,Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja,dengan menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja (71 juta jam yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan) dan kerugian laba sebesar 340 milyar rupiah.
Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi,DR.Ir.Erman Suparno,MBA,Msi,dalam presentasinya pada acara sosialisasi revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan pada tanggal 1 April 2008 di kantor Depnakertrans Jakarta mengatakan kecelakaan kerja di Indonesia menduduki pada urutan ke-52 dari 53 negara di dunia,jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebanyak 65,474 kecelakaan. Dari kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal 1,451 orang,cacat tetap 5,326 orang dan sembuh tanpa cacat 58,697 orang. Dalam kesempatan tersebut Menakertrans juga menyampaikan bahwa tingkat pelanggaran Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan pada tahun 2007 sebanyak 21,386 pelanggaran.
Data tersebut diatas hanya menyebutkan angka kecelakaan kerja dan tidak ada data yang menyebutkan angka kesakitan akibat kerja atau karena terpajan oleh bahaya di tempat kerja. Umumnya kecelakaan yang di laporkan oleh pihak industri ke Departemen Tenaga Kerja hanyalah kecelakaan berupa cidera fisik seperti tertimpa,terpotong atau luka,terbakar,dan lain sebagainya. Memang tidak mudah untuk melakukan investigasi menurunya kesehatan pekerja atau sakit yang diakibatkan oleh kondisi kerja yang tidak aman,apalagi jika akibat dari pajanan tersebut bersifat kronis dan baru bisa diketahui dalam jangka panjang.
Data yang ditampilkan pada tabel 1 diatas hanyalah ibarat puncak gunung es diatas permukan laut,masih banyak kasus-kasus K3 yang tidak muncul ke permukaan karena berbagai faktor,diantaranya:
  • Banyaknya kasus K3 yang tidak dilaporkan oleh pihak industri ke Depnaker setempat dengan berbagai alasan.
  • Kurangnya pengawasan oleh pihak Depnaker.
  • Buruknya sistem pelaporan dan pencatatan yang ada di Depnaker.
  • Rendahnya pengetahuan pekerja mengenai K3.
  • Dan lain-lain
Meskipun demikian,paling tidak data diatas telah mencerminkan bahwa sistem K3 yang ada di Indonesia masih ada kelemahan,baik dari segi kebijakan maupun dari segi implementasi.
Pembatasan Masalah
Kebijakan pemerintah dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat beragam,baik dalam bentuk Undang-Undang,Peraturan-Pemerintah,Kepmen dan bahkan Pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Analisa kebijakan K3 yang penulis sampaikan disini dibatasi pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) yang merumuskan Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010 dikaitkan dengan Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang di keluarkan pleh Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008.
Tujuan
Analisa kebijakan K3 ini adalah untuk melihat apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh DK3N dan Depnakertrans dibidang K3 ini sudah efektif dan tepat sasaran.
Konsep Kebijakan K3
Organisasi buruh internasinal ILO mengeluarkan guidline untuk pelaksanaan OHS managemen mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat perusahaan. Menurut ILO-OSH guidline ini,kebijakan K3 tingkat nasional menekankan hal-hal berikut [ILO-OSH 2001]:
  1. Manajemen K3 harus merupakan bagian integral dari keseluruhan manajemen organisasi.
  2. Memfasiltasi kegiatan K3 baik tingkat nasional dan organisasi.
  3. Keterlibatan pekerja atau perwakilan pekerja pada tingkat organisasi.
  4. Melaksanakan perbaikan terus menerus terhadap biroksrasi,administrasi dan biaya.
  5. Kerjasama antar instansi terkait dalam kerangka manajemen K3
  6. Melakukan evaluasi berkala terhadap efektifitas kebijakan K3 nasional.
  7. Mempublikasikan manajemen K3
  8. Memastikan manajemen K3 diberlakukan sama terhadap kontraktor,pekerja kontrak dan pekerja tetap.
Kerangka konsep kebijakan OSH (K3) internasional menurut komite gabungan ILO dan WHO untuk Occupational Health adalah seperti yang terlihat pada gambar-1. Program K3 nasional harus memiliki tiga unsur yaitu;Program promosi budaya K3,Program Penguatan Sistem Manjemen K3,dan  Program Sasaran Penerapan. Ketiga program tersebut harus didukung oleh advokasi promosi,perundang-undangan,pengawasan dan tenaga ahli dibidang K3. Dalam membuat kebijakan nasional,pemerintah harus mengacu pada peraturan-perturan international seperti WHO dan ILO. Pemerintah juga harus membentuk Dewan Penesehat K3 untuk membantu membuat kebijakan atau program K3 [Takala.J,2007].

Gambar 1:Kerangka Occupational Health Servis internasional [Takala.J,2007]
Meskipun sampai pada tahun 2007,Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000,Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan. Delapan konvesi tersebut adalah:
  1. Konvensi no. 87:Kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak berorganisasi,1948
  2. Konvesi no. 98:Hak berorganisasi dan berunding bersama,1949
  3. Konvensi no. 29:Kerja paksa,1930
  4. Konvensi no. 105:Penghapusan kerja paksa,1950
  5. Konvensi no. 100:Imbalan yang setara,1951
  6. Konvensi no. 111:Diskriminasi (dalam pekerjaan dan jabatan),1958
  7. Konvensi no. 138:Batas usia minimum,1973
  8. Konvensi no. 182:Bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak,1999.
Beberapa faktor yang mengahambat atau menjadi kendala dalam pelaksanaan K3 di negara-negara berkembang adalah [Rosenstock,2004):
  • Akses terhadap informasi K3 yang sangat terbatas.
  • Tingkat pengetahuan K3 para manajer dan pekerja yang rendah.
  • Alat-alat safety yang tersedia di pasaran sangat terbatas dan berkualitas rendah.
  • Konflik regional,tekanan ekonomi,faktor klimatologi dan pertukaran tenaga asing yang sedikit sehingga mempersulit pelaksanaan K3.
  • Jumlah tenaga kerja tinggi sementara lapangan kerja sedikit.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas,maka strategi yang harus diterapkan harus meliputi strategi berskala internasional,nasional,tempat kerja (organisasi) dan individu pekerja.
Intervensi dari pemerintah dalam menciptakan aturan dan sistem ditempat kerja dalam bidang K3 sangatlah penting. Hal ini dibuktikan oleh negara-negara industri yang memiliki kerangka kebijakan K3 yang kuat dan penegakan hukum secara tegas dapat memperbaiki situasi ditempat kerja secara signifikan. Disamping itu kontrol dari pemerintah tehadap pelaksanaan K3 dilapangan lebih efektif untuk memperbaiki kesehatan pekerja,hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan strategi K3 untuk meningkatkan daya saing perusahaan [Rosenstock,2004].
Kebijakan K3 Nasional
Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan  Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010.  [DK3N]Visi
Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia
Misi
  1. Meningkatkan koordinasi yang sinergis antar pengandil (stakeholders) bidang K3
  2. Meningkatkan kemandirian dunia usaha dalam menerapkan K3
  3. Meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di bidang K3
Kebijakan
  1. Peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung.
  2. Pemberdayaan pengusaha,tenaga kerja dan pemerintah agar mampu menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
  3. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.
  4. Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan.
  5. Pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang berkelanjutan.
Strategi
  1. Meningkatkan komitmen pengusaha dan tenaga kerja di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
  2. Meningkatkan peran dan fungsi semua sektor dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.
  3. Meningkatkan kemampuan,pemahaman,sikap dan perilaku budaya keselamatan dan kesehatan kerja dari pengusaha dan tenaga kerja.
  4. Melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja melalui manajemen risiko dan manajemen perilaku yang berisiko.
  5. Mengembangkan sistem penilaian keselamatan dan kesehatan kerja (Audit SMK3) di dunia usaha.
  6. Mendampingi dan menguatkan usaha mikro,kecil dan menengah (UMKM) dalam menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
  7. Meningkatkan penerapan sistem informasi keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi.
  8. Memberikan pemahaman mengenai keselamatan dan kesehatan kerja sejak usia dini hingga pendidikan tinggi.
  9. Meningkatkan peran organisasi profesi,perguruan tinggi,praktisi dan komponen masyarakat lainnya dalam peningkatan pemahaman,kemampuan,sikap,perilaku budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
10.  Meningkatkan integrasi keselamatan dan kesehatan kerja dalam semua bidang disiplin ilmu.
Program Utama
  1. Koordinasi dan sinergi antar pengandil.
  2. Harmonisasi peraturan,perundangan,standar dan pedoman bidang K3.
  3. Peningkatan peran dan fungsi pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
  4. Pelaksanaan sistem informasi keselamatan dan kesehatan kerja yang terpadu.

Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008 baru saja mencanangkan program revitalisasi pengawasan ketengakerjaan. Tujuan dari program ini adalah untuk menjadikan K3 sebagai budaya kerja untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja. Dalam penerapan program ini Depnakertrans membuat strategi pengawasan ketenagakerjaan sebagai berikut:
  1. Peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan.
  2. Peningkatan pengawasan,perlindungan dan penindakan hukum ketenagakerjaan.
  3. Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
  4. Peningkatan pemberdayaan masyarakat industri.
Kemudian untuk implementasi kebijakan pengawasan tersebut Depnakertrans akan melakukan:
  1. Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan.
  2. Meningkatkan kerjasama dan koordinasi Inter-Dep,Gubenur,Bupati dan Walikota.
  3. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan.
  4. Meningkatkan peran serta masyarakat.
Sasaran atau target dari pengawasan ketenagakerjaan ini pada tahun 2008 adalah:
  1. Kecelakaan kerja menurun 50%
  2. Kepesertaan Jamsostek meningkat 2 juta orang
  3. Pekerja anak berkurang 10,000 orang.
  4. Pelanggaran menurun 20%.
  5. Efektifitas pengawasan meningkat di 122 Kab/Kota.
  6. Peranserta masyarakat meningkat.
Analisa Kebijakan
Untuk menuju dunia usaha dan dunia kerja yang berbudaya K3 serta terlaksananya implementasi peraturan perundangan K3 di Indonesia,maka Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) sebagai institusi tripartit ekstra struktural memprakarsai untuk menyusun Visi,Misi,Kebijakan,Strategi,dan Program Kerja K3 Nasional. Hal ini dilakukan mengingat DK3N dibentuk oleh pemerintah dengan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I setiap 2 (dua) tahun,dengan keanggotaan 10 anggota kelompok pemerintah (dari berbagai departemen),10 anggota dari kelompok pengusaha (dari berbagai sektor),dan 10 anggota dari serikat pekerja/serikat buruh (dari berbagai SP/SB).
Di lihat dari visi yang dibuat oleh DK3N yang menjadikan K3 sebagai budaya adalah merupakan hal yang sangat tepat. Karena 80% kecelakaan kerja dipicu oleh prilaku tidak aman dari pekerja,prilaku tidak aman tersebut di sebabkan oleh budaya K3 yang masih sangat rendah dari pekerja. Budaya K3 (safety culture) dapat dibentuk jika di topang oleh tiga sisi yang sangat kuat,yaitu:
  1. Pekerja;para pekerja harus memiliki pengetahuan,keahlian,kemampuan,kecerdasan,motivasi dan personaliti yang cukup dan baik dalam melaksanakan pekerjaannya.
  2. Lingkungan;tersedianya peralatan,mesin,lingkungan,prosedur dan kondisi lingkungan pendukung lainnya di tempat kerja.
  3. Perilaku;kepedulian,kesadaran,loyalitas,komunikasi,pengawasan dan sebagainya.
Ketiga hal tersebut saling bersinergi satu sama lain dalam menciptakan budaya K3 ditempat kerja seperti yang terlihat pada gambar 1. Untuk membagun budaya K3 dibutuhkan ketiga hal tersebut diatas,apabila salah dari ketiga hal tersebut tidak terpenuhi atau terpenuhi sebahagian maka budaya K3 tidak akan dapat dibangun dengan baik di tempat kerja [Geller,2000].
 
Gambar 1. Konsep segitiga budaya K3 [Geller,2000]

Di lihat dari sisi strategi dan program yang dibuat oleh DK3N sudah sangat baik dan mengikuti konsep-konsep Occupational Health and Safety. Jika di lihat dari perubahan pardigma yang disampaikan oleh Geller (2002),adalah K3 yang selama ini dilaksanakan karena adanya tekanan dan kewajiban dari pemerintah sudah berubah menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika di lihat substansi dari strategi DK3N tersebut diatas adalah ingin melibatkan lebih jauh para pengusaha,pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam membudayakan K3 sehingga K3 dapat menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika hal ini dapat di wujudkan maka K3  nantinya bukan lagi menjadi beban biaya perusahaan akan tetapi menjadi bagian yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas dan produktifitas perusahaan.
Kebijakan DK3N 2007-2010 tersebut sudah memenuhi aspek ekuitas,karena kebijakan tersebut sudah mencakupi aspek pengusaha,manajemen perusahaan dan pekerja. Sasaran untuk melindungi pekerja secara maksimal dan meningkatkan produktifitas perusahaan demi kelangsungan usaha sudah tercermin dalam strategi dan program DK3N 2007-2010. Walaupun demikian keterlibatan pekerja yang dalam banyak hal diwakili oleh Serikat Pekerja tidak secara eksplisit disebutkan dalam strategi maupun program DK3N tersebut diatas. Keberadaan Serikat Pekerja pada banyak perusahaan masih dianggab sebagai musuh manajemen sehingga seringkali tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan K3 pada level perusahaan. Serikat pekerja adalah salah satu unit organisasi yang dapat secara efektif mempromosikan kesehatan di tempat kerja dan meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pelaksanaan K3 secara optimal [Gereluk,2002]. Pekerja dan perwakilan pekerja harus di libatkan secara aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan training dan mendisain training program [Graham,2002].
Pada tahap pelaksanaan kebijakan K3 dilapangan akpek ekuitas belum terpenuhi,sangat jelas terlihat keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha atau manjemen perusahaan. Banyak sekali hak-hak pekerja dalam hal ini K3 yang tidak terpenuhi. Pada bagian akhir pembahasan ini akan di jelaskan salah satu contoh keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dan mengabaikan hak pekerja.
Namun jika di lihat dari masih tingginya tingkat kecelakaan kerja di Inonesia,maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita ”Kenapa kebijakan DK3N 2007-2010 yang secara program sudah baik akan tetapi tidak efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja?’. Hal ini memang perlu dipertanyakan karena fakta menunjukan Indonesia berada pada peringkat tertinggi dalam kecelakaan kerja. Akan tetapi kebijakan ini baru berjalan satu tahun dan perlu waktu lebih lama lagi untuk melihat efektifitasnya. Dari sisi konsep kebijakan ini seharusnya cukup efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja. Pada program DK3N ini tercantum usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan pekerja dalam hal K3,bahkan sudah dimulai sejak dini dibangku sekolah atau kuliah,koordinasi yang intensif dengan berbagai instansi dalam upaya peningkatan budaya K3,kajian ulang dan revisi terhadap berbagai kebijakan K3,membuat standar teknis (SNI) dan masih banyak program lainnya yang secara konsep sudah baik.
Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang dicanangkan oleh Depnakertrans dalam upaya mendukung program DK3N 2007-2010 sangatlah menarik untuk dikaji lebih jauh,terutama kesiapan perangkat pendukung baik dari sisi sumber daya manusia maupun peraturan-peraturan yang ada. Ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah dimana setiap daerah berhak mengatur dan membuat kebijakan sendiri-sendiri sementara koordinasi dengan pusat masih sangat lemah,sehingga terjadi tumpang tindih kebijakan. Sementara Undang-Undangan,Peraturan Pemerintah dan Kepmen yang dikeluarkan pemerintah pada departemen yang berbeda juga sangat kompleks dan tumpang tindih satu sama lain. Hal ini akan menyulitkan Depnakertrans dalam meningkatkan kualitas pengawasan dan penegakan hukum bagi pelangar ketenagakerjaan. Demikian juga bagi masyarakat pekerja sangatlah tidak mudah untuk memahami kebijakan pemerintah yang saling tumpang tindih tersebut.
Kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Depnakertrans sendiri juga masih di ragukan terutama yang berada di daerah. Tidak saja hanya dari sisi kuantitas yang juga masih sangat kurang,dari segi kualitas juga sangat perlu di tingkatkan. Karena untuk menjadi pengawas K3 tidak saja harus memahami SMK3 akan tetapi juga harus memahami dan menguasai SNI atau Sstandar Iinternasional yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk melakukan pengawasan seluruh perusahaan yang berjumlah sekitar 148,000 perusahaan di butuhkan 1,849 orang pengawas di seluruh Indonesia. Sementara saat ini hanya ada 505 orang pengawas dan masih dibutuhkan tambahan kurang lebih 1,344 orang pengawas. Sementara ketersediaan SDM yang di hasilkan oleh perguruan tinggi dengan pengetahuan K3 yang memadai sangatlah sedikit. Karena sampai ini hanya ada sekitar 7 perguruan tinggi yang sudah memiliki departemen K3.
Kendala lain yang juga perlu diselesaikan oleh Depnakertrans dalam waktu dekat untuk mendukung revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan adalah standar kerja K3 atau kebijakan teknis untuk setiap sektor industri yang nantinya akan dijadikan acuan oleh pengusaha atau manjemen perusahaan  dalam menerapkan K3 di perusahaannya masing-masing. Sebagai contoh adalah kebijakan teknis untuk sektor Konstruksi,Lift dan Eksekalator,Transportasi,Perlindungan Kebakaran,Penggunaan APD dan seterusnya. Sampai saat ini pekerja maupun assosiasi-assosiasi profesional masih kebingungan dalam menerapkan K3 secara holistik. Sebagai salah satu contoh kebijakan mengenai kewajiban bagi pengusaha untuk  menyediakan alat pelindung diri buat para pekerja yang di cantumkan dalam UU No.1 tahun 1970 tidak di ikuti dengan aturan atau standar spesifikasi APD dan pajanan bahaya. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah penggunaan APD seadanya dan tidak memenuhi standar yang notabene tidak melindungi pekerja dari pajanan bahaya. Jika di lihat di negara-negara maju justru sebaliknya,mereka lebih banyak membuat guidance pelaksanaan dan standariasi daripada sekedar kebijakan. Setiap kebijakan yang di keluarkan selalu di ikuti oleh spesifikasi dan standarisasi yang jelas. Jadi kelemahan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah adalah pada tingkat Standar Nasional Indonesia (SNI) yang seharusnya merupakan pendukung pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.  Kelemahan ini dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk tidak memenuhi kewajibannya melindungi pekerja karena mempertimbangkan biaya yang harus di keluarkan. Meskipun ada audit dari Depnaker mereka tetap lolos karena perusahaan tetap menyediakan APD meskipun tidak sesuai standar.
Jika di lihat sasaran atau target dari pengawasan ketenagakerjaan pada tahun 2008,terutama kecelakaan kerja menurun 50% adalah hampir tidak mungkin untuk di realisasikan mengingat kondisi dan situasi yang dijelaskan diatas. Bagaimana mungkin kita bisa menurunkan tingkat kecelakaan kerja hingga 50% sementara pelaksanaan dari kebijakan dan program yang sudah dicanangkan masih sangat jauh dari harapan. Sementara sasaran lain seperti kepesertaan jamsostek meningkat 2 juta orang,pekerja anak berkurang 10,000 orang,pelanggaran menurun 20%,efektifitas pengawasan meningkat di 122 Kab/Kota dan peranserta masyarakat meningkat masih mungkin bisa dicapai pada tahun 2008 asalkan pemerintah secara serius melaksanakan program revitalisasi tersebut.
Jikalau kita harus jujur dan terbuka melihat kenyataan,banyak hal yang harus dibenahi dalam bidang K3. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah,pengusaha,lembaga pendidikan,organisasi pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk  melindungi pekerja dari akibat sakit atau kecelakaan kerja dan meningkatkan produktifitas pekerja dalam upaya memajukan perusahaan tempat bekerja khususnya dan bangsa ini secara umum.
Kesimpulan
  1. Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih sangat tinggi. Indonesia berada pada urutan ke 2 dari 53 negara.
  2. Kebijakan DK3N 2007-2010 sudah memenuhi aspek ekuitas dan efektifitas. Akan tetapi dalam hal implementasi belum memenuhi kedua aspek tersebut.
  3. Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan oleh Depnakertrans menghadapi banyak kendala.
  4. Standar teknis untuk mendukung Kebijakan Nasional K3 belum lengkap.
  5. Keterlibatan pekerja dan serikat pekerja dalam membuat kebijakan K3 sangat diperlukan.
  6. Keberpihakan pemerintah terhadap pekerja terlihat masih rendah.
Saran-saran
  1. Keterlibatan perkerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dalam usaha untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan K3 perlu secara tegas dicantumkan dalam kebijakan pada tingkat nasional.
  2. Diperlukan standar teknis (SNI) untuk masing-masing sektor untuk mendukung program revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan.
  3. SDM perlu ditingkatkan baik dari segi kuantitas dan kualitas dalam menjalankan program pengawasan ketenga kerjaan.
  4. K3 perlu di usulkan untuk dijadikan salah satu bidang studi wajib baik di universitas maupun di SLTA.
  5. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk promosi K3.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NO.472 TH 1996

Peraturan Menteri Kesehatan No. 472 Tahun 1996


Peraturan Menteri Kesehatan No. 472 Tahun 1996 

Tentang:Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa sebagai dampak perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang maka produksi,distribusi dan penggunaan bahan berbahaya semakin meningkat jumlahnya maupun jenisnya.
b. bahwa penggunaan bahan berbahaya yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan penanganannya dapat menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan;
c. bahwa salah satu upaya untuk menghindarkan atau mengurangi resiko bahan berbahaya dilakukan melalui pemberian informasi yang benar tentang penanganan bahan berbahaya kepada pengelola bahan berbahaya dan masyarakat urnum;
d. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 453/Menkes/Per/XI/ 1993 tentang Bahan Berbahaya tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi perdagangan dunia saat ini sehingga perlu dirubah dan ditetapkan kembali Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.
Mengingat:
1. Ordonansi Bahan Berbahaya Stbl 1949 Nomor 377;
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 215,Tambahan Lembaran Negara Nomor 2210);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Negara Nomor 3274);1
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 nomor 100 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
8. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreementt Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57,Tambahan Lembaran Negara Homer 3564);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran,Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomer 12);
10. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen
11. Keputusan Presiden Nomer 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departement 
MEMUTUSKAN:
Menetapakan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENGAMANAN BAHAN
BERBAHAYA BAGI KESEHATAN.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Bahan berbahaya adalah zat,bahan kimia dan biologi,baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung. yang mempunyai sifat racun,karsinogenik,teratogenik,mutagenik. korosif dan iritasi.
2. Lembaran Data pengaman (LDP) adalah lembar petunjuk yang berisi informasi tentang sifat fisika,kimia dan bahan berbahaya,jenis bahaya yang dapat ditimbulkan,cara penanganan dan tindakan khusus yang berhubungan dengan keadaan darurat di dalam penanganan bahan berbahaya.
3. Direktur Jenderal adalah Direkiur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Pasal 2
Jenis bahan berbahaya dimaksud dalam Peraturan Menteri ini adalah bahan berbahaya sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.
Pasal 3
(1) Setiap jenis bahan berbahaya yang akan didistribusikan atau diedarkan harus didaftar pada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.
(2) Pendaftaran bahan berbahaya sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dilakukan oleh produsen,importir atau distributor bahan berhahaya dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan contoh formulir pendaftaran pada Lampiran II.
(3) Kepada produsen atau badan usaha yang ditunjuk oleh produsen yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan tanda bukti pendaftaran.
Pasal 4
(1) Setiap badan usaha alau perorangan yang mengelola bahan berbahaya harus membuat menyusun dan memiliki lembaran data pengaman bahan berbahaya sesuai dengan contoh dalam Lampiran III.
(2) Lembaran Data Pengaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) harus diletakkan pada lempat yang mudah dilihat dan dibaca untuk memudahkan tindakan pengamanan apabila diperlukan.
Pasal 5
(1) Setiap bahan berbahaya yang diedarkan harus diberi wadah dan kemasan dengan baik serta aman.
(2) Pada wadah atau kemasan harus dicantumkan penandaan yang meliputi nama sediaan atau nama dagang,nama bahan aktif,isi /berat / netto,kalimat peringatan dan tanda atau simbol bahaya,petunjuk pertolongan pertama pada kecelakaan.
(3) Penandaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus mudah dilihat,dibaca,dimengerti tidak mudah lepas dan luntur baik karena pengaruh sinar maupun cuaca.
Pasal 6
(1) Badan usaha dan perorangan yang mengelola bahan berbahaya harus membuat laporan berkala setiap 3 (tiga) bulan yang memuat tentang penenimaan,penyaluran dan penggunaan serta yang berkaitan dengan kasus yang terjadi
(2) Bentuk laporan sebagaimana contoh laporan dalam Lampiran IV dan VI
Pasal 7
(1) Kasus terhadap importir bahan berbahaya berupa formalin,merkuri metanill yellow. rodamin B dan sianida dan garamnya,harus segera melaporkan pemasukan atau penerimaannya kepada Direktur Jenderal selambat lambatnya (dua) minggu setelah penerimaan barang sesuai dengan contoh formulir laporan pada Lampiran V.
(2) lmpotir atau distributor yang menyalurkan bahan berbahaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus membuat pencatatan khusus mengenai
- nama dan alamat jelas dari pemesan atau pengguna.
- jumlah atau banyaknya bahan berbahaya yang diserahkan.
- untuk keperluan apa bahan berbahaya tersebut digunakan oleh pemesan
(3) Pada kemasan bahan berbahaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dicantumkan nama importimya.
Pasal 8
(1) Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dan atau Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi setempat sendiri atau bersama-sama dengan instansi terkait dapat melaksanakan pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini.
(2) Direktoral Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dan atau Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi setempat sendiri atau bersama-sama dengan instansi terkait melakukan pembinaan melalui pemberian intormasi. Penyuluhan atau pelatihan terhadap masyarakat atau pengelola bahan berbahaya dalam rangka perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
(3) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pemberian penjelasan tentang ancaman atau bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan berbahaya,cara penanganan dan penanggulangannya bila terjadi kecelakaan dan atau keracunan,baik secara langsung maupun melalui media cetak alau media elektronik.
Pasal 9
Badan usaha atau perorangan yang mengelola bahan berbahaya yang melakukan perbuatan yang bertentangan atau melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1 Pasal 4,Pasal 5,Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 Peraturan Menteri ini baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya sehingga mengakibatkan terjadinya bahaya bagi kesehatan dan keselamatan manusia serta lingkungan dikenakan sanksi berupa tindakan administratif atau sanksi pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Badan usaha atau perorangan yang mengelola bahan berbahaya sebagaimana tercantum dalam Lampiran I harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan ini selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya peraturan ini.
pasal 11
Dengan berlakunya peraturan ini maka Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 453/Menkes/per/IX/ 1983 tentang Bahan Berbahaya dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
pasal 12
(1) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam peraturan ini,ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(2) Perubahan jenis bahan berbahaya yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 13
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya. memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara republik Indonesia.
Ditetapkan di:JAKARTA
Pada tanggal 9 Mei 1996.
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
(Prof. Dr. SUJUDI)