Haji
Miskin berasal dari Batu Tebal, Ampek Angkek, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo memperbaiki keamanan para pedagang di pedalaman
Minangkabau. Ia berangkat menunaikan ibadah haji pada
tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang. Pada saat berada di Mekah, ia
berkenalan dengan aliran Zahiriyah yang dipelopori
Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama
Gerakan Wahabi yang
dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su'ud dari Nejd.
Ketiga
haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan
Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin
menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan
pembaruan agama. Ia bersama Tuanku Nan Tuo menganjurkan
kembali ke syariat berdasarkan al Quran. Mereka menentang menafsirkan
fikih untuk
kepentingan
dunia. Menentang bid'ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam. Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang
fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan
Hadis. Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam
qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan
orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai
perhiasan emas.
Sekembali
dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai
sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan
tuntunan hidup berlandaskan
kaidah agama dalam setiap sikap hidup.
Haji
Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal
Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir
menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau.
Koto Laweh, sebuah desa yang terletak di persimpangan jalan dagang ke pantai melalui Malalak terus ke Naras, tempat kedudukan Tuanku nan
Cadiak.
Tuanku Nan Cadiak, seorang ulama
pelindung pedagang yang menanak garam dan
berdagang di Naras.
Dari
Koto Laweh, Haji Miskin berangkat ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan
Renceh di Surau Bansa (1807-1811 Haji Miskin dan Tuanku
Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau. Para pedagang
dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun
yang datang ke sana.
Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar
pedagang. Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin.
Sekembali dari Kamang, Malin Mudo membangun Bonjol sebagai tempat kaum pembaru. Tidak lama kemudian Malin Mudo dilantik menjadi
Tuanku Imam Bonjol* (1807). Ia berhasil mengembangkan
pembaruan ke Rao sampai ke Tapanuli Selatan, Sosa dan
Tambusai. Ke timur Mahek, Kuok Bangkingkinang, Salo, dan Air Tiris.
Daerah
Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar,
dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan
penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi
akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.
Kemudian
Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan
mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha
pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo
Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak
menyetujui kekerasan yang
dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan. Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad
yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam 'Taufah mursala ila ruhun nabi.' Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan
gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang
dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji
Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin
Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia
berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki
Gunung Sago. Fakih Saghir datang ke daerah ini membantu Malin Putih yang
kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah
benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai
Lundi di nagari Aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan.
Pembaruan
yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di
Halaban.. Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide
pembaruan masyarakat Minangkabau yang terhunjam kuat
dalam hati setiap tuanku-tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau.
Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830). Tuanku Haji Miskin dianggap seorang penebar
benih pembaruan masyarakat Minangkabau. Hukum Islam
melengkapi adat Minangkabau, seperti jual beli (an traddin), harta pencarian, hukum waris.
Sumber: Drs.
Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual
Islam di Minangkabau
(1784-1832),
Penerbit ESA, Padang
1988
-------,Naskah
Fagih Saghir, alih tulis, tt
Stein Parve, H.A, Kaum
Padri di Padang Darat Pulau Sumatra,
terjemahan LIPI, dalam
Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal, Gajah mada
University Press, 1981
sejarah daerah indonesia peradaban padang minangkabau kerajaan perlawanan belanda awal perkembangan islam sumatra barat sumatra utara aceh jambi begkulu palembang riau
sejarah daerah indonesia peradaban padang minangkabau kerajaan perlawanan belanda awal perkembangan islam sumatra barat sumatra utara aceh jambi begkulu palembang riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar