EFEKTIFITAS KEBIJAKAN DEWAN K3 NASIONAL 2007-2010 DAN REVITALISASI PENGAWASAN K3
Ref:Ismail. A (2008)
latar Belakang
Jumlah pekerja seluruh Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik per Februari 2007 adalah 97,583,141 pekerja baik industri formal maupun informal. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur skala besar dan sedang pada tahun 2005 berjumlah 20,729 perusahaan yang memperkerjakan sekitar 12,094,067 pekerja. Meskipun jumlah pekerja di industri manufaktur hanya 12.4% dari total seluruh pekerja di Indonesia,namun para pekerja di industri manufaktur ini sangat tinggi tingkat resiko kesehatannya karena tingkat pajanan bahaya selama bekerja (BPS,2007).
Pada tahun 2002,Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja,dengan menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja (71 juta jam yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan) dan kerugian laba sebesar 340 milyar rupiah.
Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi,DR.Ir.Erman Suparno,MBA,Msi,dalam presentasinya pada acara sosialisasi revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan pada tanggal 1 April 2008 di kantor Depnakertrans Jakarta mengatakan kecelakaan kerja di Indonesia menduduki pada urutan ke-52 dari 53 negara di dunia,jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebanyak 65,474 kecelakaan. Dari kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal 1,451 orang,cacat tetap 5,326 orang dan sembuh tanpa cacat 58,697 orang. Dalam kesempatan tersebut Menakertrans juga menyampaikan bahwa tingkat pelanggaran Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan pada tahun 2007 sebanyak 21,386 pelanggaran.
Data tersebut diatas hanya menyebutkan angka kecelakaan kerja dan tidak ada data yang menyebutkan angka kesakitan akibat kerja atau karena terpajan oleh bahaya di tempat kerja. Umumnya kecelakaan yang di laporkan oleh pihak industri ke Departemen Tenaga Kerja hanyalah kecelakaan berupa cidera fisik seperti tertimpa,terpotong atau luka,terbakar,dan lain sebagainya. Memang tidak mudah untuk melakukan investigasi menurunya kesehatan pekerja atau sakit yang diakibatkan oleh kondisi kerja yang tidak aman,apalagi jika akibat dari pajanan tersebut bersifat kronis dan baru bisa diketahui dalam jangka panjang.
Data yang ditampilkan pada tabel 1 diatas hanyalah ibarat puncak gunung es diatas permukan laut,masih banyak kasus-kasus K3 yang tidak muncul ke permukaan karena berbagai faktor,diantaranya:
Pembatasan Masalah
Kebijakan pemerintah dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat beragam,baik dalam bentuk Undang-Undang,Peraturan-Pemerintah,Kepmen dan bahkan Pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Analisa kebijakan K3 yang penulis sampaikan disini dibatasi pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) yang merumuskan Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010 dikaitkan dengan Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang di keluarkan pleh Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008.
Tujuan
Analisa kebijakan K3 ini adalah untuk melihat apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh DK3N dan Depnakertrans dibidang K3 ini sudah efektif dan tepat sasaran.
Konsep Kebijakan K3
Organisasi buruh internasinal ILO mengeluarkan guidline untuk pelaksanaan OHS managemen mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat perusahaan. Menurut ILO-OSH guidline ini,kebijakan K3 tingkat nasional menekankan hal-hal berikut [ILO-OSH 2001]:
Gambar 1:Kerangka Occupational Health Servis internasional [Takala.J,2007]
Meskipun sampai pada tahun 2007,Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000,Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan. Delapan konvesi tersebut adalah:
Intervensi dari pemerintah dalam menciptakan aturan dan sistem ditempat kerja dalam bidang K3 sangatlah penting. Hal ini dibuktikan oleh negara-negara industri yang memiliki kerangka kebijakan K3 yang kuat dan penegakan hukum secara tegas dapat memperbaiki situasi ditempat kerja secara signifikan. Disamping itu kontrol dari pemerintah tehadap pelaksanaan K3 dilapangan lebih efektif untuk memperbaiki kesehatan pekerja,hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan strategi K3 untuk meningkatkan daya saing perusahaan [Rosenstock,2004].
Kebijakan K3 Nasional
Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010. [DK3N]Visi
Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia
Misi
Program Utama
Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008 baru saja mencanangkan program revitalisasi pengawasan ketengakerjaan. Tujuan dari program ini adalah untuk menjadikan K3 sebagai budaya kerja untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja. Dalam penerapan program ini Depnakertrans membuat strategi pengawasan ketenagakerjaan sebagai berikut:
Untuk menuju dunia usaha dan dunia kerja yang berbudaya K3 serta terlaksananya implementasi peraturan perundangan K3 di Indonesia,maka Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) sebagai institusi tripartit ekstra struktural memprakarsai untuk menyusun Visi,Misi,Kebijakan,Strategi,dan Program Kerja K3 Nasional. Hal ini dilakukan mengingat DK3N dibentuk oleh pemerintah dengan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I setiap 2 (dua) tahun,dengan keanggotaan 10 anggota kelompok pemerintah (dari berbagai departemen),10 anggota dari kelompok pengusaha (dari berbagai sektor),dan 10 anggota dari serikat pekerja/serikat buruh (dari berbagai SP/SB).
Di lihat dari visi yang dibuat oleh DK3N yang menjadikan K3 sebagai budaya adalah merupakan hal yang sangat tepat. Karena 80% kecelakaan kerja dipicu oleh prilaku tidak aman dari pekerja,prilaku tidak aman tersebut di sebabkan oleh budaya K3 yang masih sangat rendah dari pekerja. Budaya K3 (safety culture) dapat dibentuk jika di topang oleh tiga sisi yang sangat kuat,yaitu:
Gambar 1. Konsep segitiga budaya K3 [Geller,2000]
Di lihat dari sisi strategi dan program yang dibuat oleh DK3N sudah sangat baik dan mengikuti konsep-konsep Occupational Health and Safety. Jika di lihat dari perubahan pardigma yang disampaikan oleh Geller (2002),adalah K3 yang selama ini dilaksanakan karena adanya tekanan dan kewajiban dari pemerintah sudah berubah menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika di lihat substansi dari strategi DK3N tersebut diatas adalah ingin melibatkan lebih jauh para pengusaha,pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam membudayakan K3 sehingga K3 dapat menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika hal ini dapat di wujudkan maka K3 nantinya bukan lagi menjadi beban biaya perusahaan akan tetapi menjadi bagian yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas dan produktifitas perusahaan.
Kebijakan DK3N 2007-2010 tersebut sudah memenuhi aspek ekuitas,karena kebijakan tersebut sudah mencakupi aspek pengusaha,manajemen perusahaan dan pekerja. Sasaran untuk melindungi pekerja secara maksimal dan meningkatkan produktifitas perusahaan demi kelangsungan usaha sudah tercermin dalam strategi dan program DK3N 2007-2010. Walaupun demikian keterlibatan pekerja yang dalam banyak hal diwakili oleh Serikat Pekerja tidak secara eksplisit disebutkan dalam strategi maupun program DK3N tersebut diatas. Keberadaan Serikat Pekerja pada banyak perusahaan masih dianggab sebagai musuh manajemen sehingga seringkali tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan K3 pada level perusahaan. Serikat pekerja adalah salah satu unit organisasi yang dapat secara efektif mempromosikan kesehatan di tempat kerja dan meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pelaksanaan K3 secara optimal [Gereluk,2002]. Pekerja dan perwakilan pekerja harus di libatkan secara aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan training dan mendisain training program [Graham,2002].
Pada tahap pelaksanaan kebijakan K3 dilapangan akpek ekuitas belum terpenuhi,sangat jelas terlihat keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha atau manjemen perusahaan. Banyak sekali hak-hak pekerja dalam hal ini K3 yang tidak terpenuhi. Pada bagian akhir pembahasan ini akan di jelaskan salah satu contoh keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dan mengabaikan hak pekerja.
Namun jika di lihat dari masih tingginya tingkat kecelakaan kerja di Inonesia,maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita ”Kenapa kebijakan DK3N 2007-2010 yang secara program sudah baik akan tetapi tidak efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja?’. Hal ini memang perlu dipertanyakan karena fakta menunjukan Indonesia berada pada peringkat tertinggi dalam kecelakaan kerja. Akan tetapi kebijakan ini baru berjalan satu tahun dan perlu waktu lebih lama lagi untuk melihat efektifitasnya. Dari sisi konsep kebijakan ini seharusnya cukup efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja. Pada program DK3N ini tercantum usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan pekerja dalam hal K3,bahkan sudah dimulai sejak dini dibangku sekolah atau kuliah,koordinasi yang intensif dengan berbagai instansi dalam upaya peningkatan budaya K3,kajian ulang dan revisi terhadap berbagai kebijakan K3,membuat standar teknis (SNI) dan masih banyak program lainnya yang secara konsep sudah baik.
Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang dicanangkan oleh Depnakertrans dalam upaya mendukung program DK3N 2007-2010 sangatlah menarik untuk dikaji lebih jauh,terutama kesiapan perangkat pendukung baik dari sisi sumber daya manusia maupun peraturan-peraturan yang ada. Ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah dimana setiap daerah berhak mengatur dan membuat kebijakan sendiri-sendiri sementara koordinasi dengan pusat masih sangat lemah,sehingga terjadi tumpang tindih kebijakan. Sementara Undang-Undangan,Peraturan Pemerintah dan Kepmen yang dikeluarkan pemerintah pada departemen yang berbeda juga sangat kompleks dan tumpang tindih satu sama lain. Hal ini akan menyulitkan Depnakertrans dalam meningkatkan kualitas pengawasan dan penegakan hukum bagi pelangar ketenagakerjaan. Demikian juga bagi masyarakat pekerja sangatlah tidak mudah untuk memahami kebijakan pemerintah yang saling tumpang tindih tersebut.
Kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Depnakertrans sendiri juga masih di ragukan terutama yang berada di daerah. Tidak saja hanya dari sisi kuantitas yang juga masih sangat kurang,dari segi kualitas juga sangat perlu di tingkatkan. Karena untuk menjadi pengawas K3 tidak saja harus memahami SMK3 akan tetapi juga harus memahami dan menguasai SNI atau Sstandar Iinternasional yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk melakukan pengawasan seluruh perusahaan yang berjumlah sekitar 148,000 perusahaan di butuhkan 1,849 orang pengawas di seluruh Indonesia. Sementara saat ini hanya ada 505 orang pengawas dan masih dibutuhkan tambahan kurang lebih 1,344 orang pengawas. Sementara ketersediaan SDM yang di hasilkan oleh perguruan tinggi dengan pengetahuan K3 yang memadai sangatlah sedikit. Karena sampai ini hanya ada sekitar 7 perguruan tinggi yang sudah memiliki departemen K3.
Kendala lain yang juga perlu diselesaikan oleh Depnakertrans dalam waktu dekat untuk mendukung revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan adalah standar kerja K3 atau kebijakan teknis untuk setiap sektor industri yang nantinya akan dijadikan acuan oleh pengusaha atau manjemen perusahaan dalam menerapkan K3 di perusahaannya masing-masing. Sebagai contoh adalah kebijakan teknis untuk sektor Konstruksi,Lift dan Eksekalator,Transportasi,Perlindungan Kebakaran,Penggunaan APD dan seterusnya. Sampai saat ini pekerja maupun assosiasi-assosiasi profesional masih kebingungan dalam menerapkan K3 secara holistik. Sebagai salah satu contoh kebijakan mengenai kewajiban bagi pengusaha untuk menyediakan alat pelindung diri buat para pekerja yang di cantumkan dalam UU No.1 tahun 1970 tidak di ikuti dengan aturan atau standar spesifikasi APD dan pajanan bahaya. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah penggunaan APD seadanya dan tidak memenuhi standar yang notabene tidak melindungi pekerja dari pajanan bahaya. Jika di lihat di negara-negara maju justru sebaliknya,mereka lebih banyak membuat guidance pelaksanaan dan standariasi daripada sekedar kebijakan. Setiap kebijakan yang di keluarkan selalu di ikuti oleh spesifikasi dan standarisasi yang jelas. Jadi kelemahan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah adalah pada tingkat Standar Nasional Indonesia (SNI) yang seharusnya merupakan pendukung pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk tidak memenuhi kewajibannya melindungi pekerja karena mempertimbangkan biaya yang harus di keluarkan. Meskipun ada audit dari Depnaker mereka tetap lolos karena perusahaan tetap menyediakan APD meskipun tidak sesuai standar.
Jika di lihat sasaran atau target dari pengawasan ketenagakerjaan pada tahun 2008,terutama kecelakaan kerja menurun 50% adalah hampir tidak mungkin untuk di realisasikan mengingat kondisi dan situasi yang dijelaskan diatas. Bagaimana mungkin kita bisa menurunkan tingkat kecelakaan kerja hingga 50% sementara pelaksanaan dari kebijakan dan program yang sudah dicanangkan masih sangat jauh dari harapan. Sementara sasaran lain seperti kepesertaan jamsostek meningkat 2 juta orang,pekerja anak berkurang 10,000 orang,pelanggaran menurun 20%,efektifitas pengawasan meningkat di 122 Kab/Kota dan peranserta masyarakat meningkat masih mungkin bisa dicapai pada tahun 2008 asalkan pemerintah secara serius melaksanakan program revitalisasi tersebut.
Jikalau kita harus jujur dan terbuka melihat kenyataan,banyak hal yang harus dibenahi dalam bidang K3. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah,pengusaha,lembaga pendidikan,organisasi pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk melindungi pekerja dari akibat sakit atau kecelakaan kerja dan meningkatkan produktifitas pekerja dalam upaya memajukan perusahaan tempat bekerja khususnya dan bangsa ini secara umum.
Kesimpulan
latar Belakang
Jumlah pekerja seluruh Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik per Februari 2007 adalah 97,583,141 pekerja baik industri formal maupun informal. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur skala besar dan sedang pada tahun 2005 berjumlah 20,729 perusahaan yang memperkerjakan sekitar 12,094,067 pekerja. Meskipun jumlah pekerja di industri manufaktur hanya 12.4% dari total seluruh pekerja di Indonesia,namun para pekerja di industri manufaktur ini sangat tinggi tingkat resiko kesehatannya karena tingkat pajanan bahaya selama bekerja (BPS,2007).
Pada tahun 2002,Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja,dengan menyebutkan bahwa kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja (71 juta jam yang seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan) dan kerugian laba sebesar 340 milyar rupiah.
Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi,DR.Ir.Erman Suparno,MBA,Msi,dalam presentasinya pada acara sosialisasi revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan pada tanggal 1 April 2008 di kantor Depnakertrans Jakarta mengatakan kecelakaan kerja di Indonesia menduduki pada urutan ke-52 dari 53 negara di dunia,jumlah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebanyak 65,474 kecelakaan. Dari kecelakaan tersebut mengakibatkan meninggal 1,451 orang,cacat tetap 5,326 orang dan sembuh tanpa cacat 58,697 orang. Dalam kesempatan tersebut Menakertrans juga menyampaikan bahwa tingkat pelanggaran Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan pada tahun 2007 sebanyak 21,386 pelanggaran.
Data tersebut diatas hanya menyebutkan angka kecelakaan kerja dan tidak ada data yang menyebutkan angka kesakitan akibat kerja atau karena terpajan oleh bahaya di tempat kerja. Umumnya kecelakaan yang di laporkan oleh pihak industri ke Departemen Tenaga Kerja hanyalah kecelakaan berupa cidera fisik seperti tertimpa,terpotong atau luka,terbakar,dan lain sebagainya. Memang tidak mudah untuk melakukan investigasi menurunya kesehatan pekerja atau sakit yang diakibatkan oleh kondisi kerja yang tidak aman,apalagi jika akibat dari pajanan tersebut bersifat kronis dan baru bisa diketahui dalam jangka panjang.
Data yang ditampilkan pada tabel 1 diatas hanyalah ibarat puncak gunung es diatas permukan laut,masih banyak kasus-kasus K3 yang tidak muncul ke permukaan karena berbagai faktor,diantaranya:
- Banyaknya kasus K3 yang tidak dilaporkan oleh pihak industri ke Depnaker setempat dengan berbagai alasan.
- Kurangnya pengawasan oleh pihak Depnaker.
- Buruknya sistem pelaporan dan pencatatan yang ada di Depnaker.
- Rendahnya pengetahuan pekerja mengenai K3.
- Dan lain-lain
Pembatasan Masalah
Kebijakan pemerintah dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat beragam,baik dalam bentuk Undang-Undang,Peraturan-Pemerintah,Kepmen dan bahkan Pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Analisa kebijakan K3 yang penulis sampaikan disini dibatasi pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) yang merumuskan Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010 dikaitkan dengan Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang di keluarkan pleh Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008.
Tujuan
Analisa kebijakan K3 ini adalah untuk melihat apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh DK3N dan Depnakertrans dibidang K3 ini sudah efektif dan tepat sasaran.
Konsep Kebijakan K3
Organisasi buruh internasinal ILO mengeluarkan guidline untuk pelaksanaan OHS managemen mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat perusahaan. Menurut ILO-OSH guidline ini,kebijakan K3 tingkat nasional menekankan hal-hal berikut [ILO-OSH 2001]:
- Manajemen K3 harus merupakan bagian integral dari keseluruhan manajemen organisasi.
- Memfasiltasi kegiatan K3 baik tingkat nasional dan organisasi.
- Keterlibatan pekerja atau perwakilan pekerja pada tingkat organisasi.
- Melaksanakan perbaikan terus menerus terhadap biroksrasi,administrasi dan biaya.
- Kerjasama antar instansi terkait dalam kerangka manajemen K3
- Melakukan evaluasi berkala terhadap efektifitas kebijakan K3 nasional.
- Mempublikasikan manajemen K3
- Memastikan manajemen K3 diberlakukan sama terhadap kontraktor,pekerja kontrak dan pekerja tetap.
Gambar 1:Kerangka Occupational Health Servis internasional [Takala.J,2007]
Meskipun sampai pada tahun 2007,Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi-konvensi ILO yang berkaitan dengan K3 kecuali Konvensi ILO No 120/ 1964 tentang Higiene (Komersial dan Perkantoran). Tetapi hingga tahun 2000,Indonesia sudah meratifikasi seluruh Konvensi Dasar ILO tentang Hak Asasi Manusia yang semuanya berjumlah delapan. Delapan konvesi tersebut adalah:
- Konvensi no. 87:Kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak berorganisasi,1948
- Konvesi no. 98:Hak berorganisasi dan berunding bersama,1949
- Konvensi no. 29:Kerja paksa,1930
- Konvensi no. 105:Penghapusan kerja paksa,1950
- Konvensi no. 100:Imbalan yang setara,1951
- Konvensi no. 111:Diskriminasi (dalam pekerjaan dan jabatan),1958
- Konvensi no. 138:Batas usia minimum,1973
- Konvensi no. 182:Bentuk-bentuk terburuk perburuhan anak,1999.
- Akses terhadap informasi K3 yang sangat terbatas.
- Tingkat pengetahuan K3 para manajer dan pekerja yang rendah.
- Alat-alat safety yang tersedia di pasaran sangat terbatas dan berkualitas rendah.
- Konflik regional,tekanan ekonomi,faktor klimatologi dan pertukaran tenaga asing yang sedikit sehingga mempersulit pelaksanaan K3.
- Jumlah tenaga kerja tinggi sementara lapangan kerja sedikit.
Intervensi dari pemerintah dalam menciptakan aturan dan sistem ditempat kerja dalam bidang K3 sangatlah penting. Hal ini dibuktikan oleh negara-negara industri yang memiliki kerangka kebijakan K3 yang kuat dan penegakan hukum secara tegas dapat memperbaiki situasi ditempat kerja secara signifikan. Disamping itu kontrol dari pemerintah tehadap pelaksanaan K3 dilapangan lebih efektif untuk memperbaiki kesehatan pekerja,hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan strategi K3 untuk meningkatkan daya saing perusahaan [Rosenstock,2004].
Kebijakan K3 Nasional
Visi,Misi,Kebijakan,Strategi dan Program Kerja Keselamatan dan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010. [DK3N]Visi
Terwujudnya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia
Misi
- Meningkatkan koordinasi yang sinergis antar pengandil (stakeholders) bidang K3
- Meningkatkan kemandirian dunia usaha dalam menerapkan K3
- Meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja di bidang K3
- Peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung.
- Pemberdayaan pengusaha,tenaga kerja dan pemerintah agar mampu menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
- Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan regulator.
- Penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen perusahaan.
- Pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang berkelanjutan.
- Meningkatkan komitmen pengusaha dan tenaga kerja di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
- Meningkatkan peran dan fungsi semua sektor dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.
- Meningkatkan kemampuan,pemahaman,sikap dan perilaku budaya keselamatan dan kesehatan kerja dari pengusaha dan tenaga kerja.
- Melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja melalui manajemen risiko dan manajemen perilaku yang berisiko.
- Mengembangkan sistem penilaian keselamatan dan kesehatan kerja (Audit SMK3) di dunia usaha.
- Mendampingi dan menguatkan usaha mikro,kecil dan menengah (UMKM) dalam menerapkan dan meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
- Meningkatkan penerapan sistem informasi keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi.
- Memberikan pemahaman mengenai keselamatan dan kesehatan kerja sejak usia dini hingga pendidikan tinggi.
- Meningkatkan peran organisasi profesi,perguruan tinggi,praktisi dan komponen masyarakat lainnya dalam peningkatan pemahaman,kemampuan,sikap,perilaku budaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Program Utama
- Koordinasi dan sinergi antar pengandil.
- Harmonisasi peraturan,perundangan,standar dan pedoman bidang K3.
- Peningkatan peran dan fungsi pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
- Pelaksanaan sistem informasi keselamatan dan kesehatan kerja yang terpadu.
Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Depnakertrans pada tanggal 1 April 2008 baru saja mencanangkan program revitalisasi pengawasan ketengakerjaan. Tujuan dari program ini adalah untuk menjadikan K3 sebagai budaya kerja untuk meningkatkan mutu dan produktivitas kerja. Dalam penerapan program ini Depnakertrans membuat strategi pengawasan ketenagakerjaan sebagai berikut:
- Peningkatan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan.
- Peningkatan pengawasan,perlindungan dan penindakan hukum ketenagakerjaan.
- Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
- Peningkatan pemberdayaan masyarakat industri.
- Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengawas ketenagakerjaan.
- Meningkatkan kerjasama dan koordinasi Inter-Dep,Gubenur,Bupati dan Walikota.
- Menyempurnakan peraturan perundang-undangan.
- Meningkatkan peran serta masyarakat.
- Kecelakaan kerja menurun 50%
- Kepesertaan Jamsostek meningkat 2 juta orang
- Pekerja anak berkurang 10,000 orang.
- Pelanggaran menurun 20%.
- Efektifitas pengawasan meningkat di 122 Kab/Kota.
- Peranserta masyarakat meningkat.
Untuk menuju dunia usaha dan dunia kerja yang berbudaya K3 serta terlaksananya implementasi peraturan perundangan K3 di Indonesia,maka Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) sebagai institusi tripartit ekstra struktural memprakarsai untuk menyusun Visi,Misi,Kebijakan,Strategi,dan Program Kerja K3 Nasional. Hal ini dilakukan mengingat DK3N dibentuk oleh pemerintah dengan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I setiap 2 (dua) tahun,dengan keanggotaan 10 anggota kelompok pemerintah (dari berbagai departemen),10 anggota dari kelompok pengusaha (dari berbagai sektor),dan 10 anggota dari serikat pekerja/serikat buruh (dari berbagai SP/SB).
Di lihat dari visi yang dibuat oleh DK3N yang menjadikan K3 sebagai budaya adalah merupakan hal yang sangat tepat. Karena 80% kecelakaan kerja dipicu oleh prilaku tidak aman dari pekerja,prilaku tidak aman tersebut di sebabkan oleh budaya K3 yang masih sangat rendah dari pekerja. Budaya K3 (safety culture) dapat dibentuk jika di topang oleh tiga sisi yang sangat kuat,yaitu:
- Pekerja;para pekerja harus memiliki pengetahuan,keahlian,kemampuan,kecerdasan,motivasi dan personaliti yang cukup dan baik dalam melaksanakan pekerjaannya.
- Lingkungan;tersedianya peralatan,mesin,lingkungan,prosedur dan kondisi lingkungan pendukung lainnya di tempat kerja.
- Perilaku;kepedulian,kesadaran,loyalitas,komunikasi,pengawasan dan sebagainya.
Gambar 1. Konsep segitiga budaya K3 [Geller,2000]
Di lihat dari sisi strategi dan program yang dibuat oleh DK3N sudah sangat baik dan mengikuti konsep-konsep Occupational Health and Safety. Jika di lihat dari perubahan pardigma yang disampaikan oleh Geller (2002),adalah K3 yang selama ini dilaksanakan karena adanya tekanan dan kewajiban dari pemerintah sudah berubah menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika di lihat substansi dari strategi DK3N tersebut diatas adalah ingin melibatkan lebih jauh para pengusaha,pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya dalam membudayakan K3 sehingga K3 dapat menjadi tanggung jawab organisasi terhadap lingkungannya. Jika hal ini dapat di wujudkan maka K3 nantinya bukan lagi menjadi beban biaya perusahaan akan tetapi menjadi bagian yang berkontribusi terhadap peningkatan kualitas dan produktifitas perusahaan.
Kebijakan DK3N 2007-2010 tersebut sudah memenuhi aspek ekuitas,karena kebijakan tersebut sudah mencakupi aspek pengusaha,manajemen perusahaan dan pekerja. Sasaran untuk melindungi pekerja secara maksimal dan meningkatkan produktifitas perusahaan demi kelangsungan usaha sudah tercermin dalam strategi dan program DK3N 2007-2010. Walaupun demikian keterlibatan pekerja yang dalam banyak hal diwakili oleh Serikat Pekerja tidak secara eksplisit disebutkan dalam strategi maupun program DK3N tersebut diatas. Keberadaan Serikat Pekerja pada banyak perusahaan masih dianggab sebagai musuh manajemen sehingga seringkali tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan K3 pada level perusahaan. Serikat pekerja adalah salah satu unit organisasi yang dapat secara efektif mempromosikan kesehatan di tempat kerja dan meningkatkan keterlibatan pekerja dalam pelaksanaan K3 secara optimal [Gereluk,2002]. Pekerja dan perwakilan pekerja harus di libatkan secara aktif dalam mengidentifikasi kebutuhan training dan mendisain training program [Graham,2002].
Pada tahap pelaksanaan kebijakan K3 dilapangan akpek ekuitas belum terpenuhi,sangat jelas terlihat keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha atau manjemen perusahaan. Banyak sekali hak-hak pekerja dalam hal ini K3 yang tidak terpenuhi. Pada bagian akhir pembahasan ini akan di jelaskan salah satu contoh keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dan mengabaikan hak pekerja.
Namun jika di lihat dari masih tingginya tingkat kecelakaan kerja di Inonesia,maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita ”Kenapa kebijakan DK3N 2007-2010 yang secara program sudah baik akan tetapi tidak efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja?’. Hal ini memang perlu dipertanyakan karena fakta menunjukan Indonesia berada pada peringkat tertinggi dalam kecelakaan kerja. Akan tetapi kebijakan ini baru berjalan satu tahun dan perlu waktu lebih lama lagi untuk melihat efektifitasnya. Dari sisi konsep kebijakan ini seharusnya cukup efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan kerja. Pada program DK3N ini tercantum usaha-usaha untuk meningkatkan pengetahuan pekerja dalam hal K3,bahkan sudah dimulai sejak dini dibangku sekolah atau kuliah,koordinasi yang intensif dengan berbagai instansi dalam upaya peningkatan budaya K3,kajian ulang dan revisi terhadap berbagai kebijakan K3,membuat standar teknis (SNI) dan masih banyak program lainnya yang secara konsep sudah baik.
Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan yang dicanangkan oleh Depnakertrans dalam upaya mendukung program DK3N 2007-2010 sangatlah menarik untuk dikaji lebih jauh,terutama kesiapan perangkat pendukung baik dari sisi sumber daya manusia maupun peraturan-peraturan yang ada. Ditambah lagi dengan adanya otonomi daerah dimana setiap daerah berhak mengatur dan membuat kebijakan sendiri-sendiri sementara koordinasi dengan pusat masih sangat lemah,sehingga terjadi tumpang tindih kebijakan. Sementara Undang-Undangan,Peraturan Pemerintah dan Kepmen yang dikeluarkan pemerintah pada departemen yang berbeda juga sangat kompleks dan tumpang tindih satu sama lain. Hal ini akan menyulitkan Depnakertrans dalam meningkatkan kualitas pengawasan dan penegakan hukum bagi pelangar ketenagakerjaan. Demikian juga bagi masyarakat pekerja sangatlah tidak mudah untuk memahami kebijakan pemerintah yang saling tumpang tindih tersebut.
Kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Depnakertrans sendiri juga masih di ragukan terutama yang berada di daerah. Tidak saja hanya dari sisi kuantitas yang juga masih sangat kurang,dari segi kualitas juga sangat perlu di tingkatkan. Karena untuk menjadi pengawas K3 tidak saja harus memahami SMK3 akan tetapi juga harus memahami dan menguasai SNI atau Sstandar Iinternasional yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk melakukan pengawasan seluruh perusahaan yang berjumlah sekitar 148,000 perusahaan di butuhkan 1,849 orang pengawas di seluruh Indonesia. Sementara saat ini hanya ada 505 orang pengawas dan masih dibutuhkan tambahan kurang lebih 1,344 orang pengawas. Sementara ketersediaan SDM yang di hasilkan oleh perguruan tinggi dengan pengetahuan K3 yang memadai sangatlah sedikit. Karena sampai ini hanya ada sekitar 7 perguruan tinggi yang sudah memiliki departemen K3.
Kendala lain yang juga perlu diselesaikan oleh Depnakertrans dalam waktu dekat untuk mendukung revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan adalah standar kerja K3 atau kebijakan teknis untuk setiap sektor industri yang nantinya akan dijadikan acuan oleh pengusaha atau manjemen perusahaan dalam menerapkan K3 di perusahaannya masing-masing. Sebagai contoh adalah kebijakan teknis untuk sektor Konstruksi,Lift dan Eksekalator,Transportasi,Perlindungan Kebakaran,Penggunaan APD dan seterusnya. Sampai saat ini pekerja maupun assosiasi-assosiasi profesional masih kebingungan dalam menerapkan K3 secara holistik. Sebagai salah satu contoh kebijakan mengenai kewajiban bagi pengusaha untuk menyediakan alat pelindung diri buat para pekerja yang di cantumkan dalam UU No.1 tahun 1970 tidak di ikuti dengan aturan atau standar spesifikasi APD dan pajanan bahaya. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah penggunaan APD seadanya dan tidak memenuhi standar yang notabene tidak melindungi pekerja dari pajanan bahaya. Jika di lihat di negara-negara maju justru sebaliknya,mereka lebih banyak membuat guidance pelaksanaan dan standariasi daripada sekedar kebijakan. Setiap kebijakan yang di keluarkan selalu di ikuti oleh spesifikasi dan standarisasi yang jelas. Jadi kelemahan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah adalah pada tingkat Standar Nasional Indonesia (SNI) yang seharusnya merupakan pendukung pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh sebagian pengusaha untuk tidak memenuhi kewajibannya melindungi pekerja karena mempertimbangkan biaya yang harus di keluarkan. Meskipun ada audit dari Depnaker mereka tetap lolos karena perusahaan tetap menyediakan APD meskipun tidak sesuai standar.
Jika di lihat sasaran atau target dari pengawasan ketenagakerjaan pada tahun 2008,terutama kecelakaan kerja menurun 50% adalah hampir tidak mungkin untuk di realisasikan mengingat kondisi dan situasi yang dijelaskan diatas. Bagaimana mungkin kita bisa menurunkan tingkat kecelakaan kerja hingga 50% sementara pelaksanaan dari kebijakan dan program yang sudah dicanangkan masih sangat jauh dari harapan. Sementara sasaran lain seperti kepesertaan jamsostek meningkat 2 juta orang,pekerja anak berkurang 10,000 orang,pelanggaran menurun 20%,efektifitas pengawasan meningkat di 122 Kab/Kota dan peranserta masyarakat meningkat masih mungkin bisa dicapai pada tahun 2008 asalkan pemerintah secara serius melaksanakan program revitalisasi tersebut.
Jikalau kita harus jujur dan terbuka melihat kenyataan,banyak hal yang harus dibenahi dalam bidang K3. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah,pengusaha,lembaga pendidikan,organisasi pekerja dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk melindungi pekerja dari akibat sakit atau kecelakaan kerja dan meningkatkan produktifitas pekerja dalam upaya memajukan perusahaan tempat bekerja khususnya dan bangsa ini secara umum.
Kesimpulan
- Tingkat kecelakaan kerja di Indonesia masih sangat tinggi. Indonesia berada pada urutan ke 2 dari 53 negara.
- Kebijakan DK3N 2007-2010 sudah memenuhi aspek ekuitas dan efektifitas. Akan tetapi dalam hal implementasi belum memenuhi kedua aspek tersebut.
- Program Revitalisasi Pengawasan Ketenagakerjaan oleh Depnakertrans menghadapi banyak kendala.
- Standar teknis untuk mendukung Kebijakan Nasional K3 belum lengkap.
- Keterlibatan pekerja dan serikat pekerja dalam membuat kebijakan K3 sangat diperlukan.
- Keberpihakan pemerintah terhadap pekerja terlihat masih rendah.
- Keterlibatan perkerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja dalam usaha untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan K3 perlu secara tegas dicantumkan dalam kebijakan pada tingkat nasional.
- Diperlukan standar teknis (SNI) untuk masing-masing sektor untuk mendukung program revitalisasi pengawasan ketenagakerjaan.
- SDM perlu ditingkatkan baik dari segi kuantitas dan kualitas dalam menjalankan program pengawasan ketenga kerjaan.
- K3 perlu di usulkan untuk dijadikan salah satu bidang studi wajib baik di universitas maupun di SLTA.
- Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang lebih signifikan untuk promosi K3.
Buy mens titanium necklace | Tioga Aruba
BalasHapusItems related welding titanium to mens titanium necklace. All mens titanium necklace. Mens titanium necklace is one titanium dive knife of the titanium lug nuts most popular items at Tioga ford ecosport titanium Aruba. iron titanium